.quickedit{display:none;}

Selasa, 14 Juli 2015

ekstrimisme


RESUME
PSIKOLOGI POLITIK TENTANG EKSTRIMISME POLITIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Psikologi Belajar PAI



PSIKOLOGI POLITIK TENTANG EKSTRIMISME POLITIK (Lusia Astrika, S.IP, M.Si) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP - UNDIP
A.    Apa itu Ekstrimis ?
Seseorang dikatakan ekstrimis bila :
1.   Sangat antusias dan sangat berlebihan dalam tindakan yang tidak tepat, karena terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi yang berlebihan dalam melihat dunia ini.
2.   Hanya memperhatikan logika berpikir dari perilaku mereka sendiri, pemikiran pihak lain lewat, dan cenderung close mind.
3.   Tidak berempati terhadap pihak lain dan cenderung tidak manusiawi terhadap korban-korban mereka.

B.     Apa Penyebabnya?
Penyebabnya adalah sebagai berikut :
1.   Aktifitas kelompok dan ideology.
a.    Cataldo Neuberger and Valentini (1996), Pearlstein (1991) dan Post (1990) mengatakan bahwa penyebab ekstremis adalah penyimpangan kepribadian / mental disorder.
b.   Tetapi Braungart & Braungart (1992), Crenshaw (2000), Rabbie (1991), Ross (1994), dan Silke (1998) menolak pandangan tersebut, mereka berargumentasi bahwa kepribadian bukanlah penyebab ekstremisme.
c.    Secara politik, perilaku ekstrimis dipandang bukan dari hasilpsycopathologi / mental disorder, melainkan karena adanya ideologi bersama yang kuat dan solidaritas kelompok yang kokoh (aktivitas kelompok).
d.   Baumeister (1997:190) mengatakan bahwa perilaku kekerasan oleh ekstrimis hampir selalu didorong oleh semangat kelompok. Dalam hal ini ada dukungan dan tekanan dari kelompok, sehingga peran individu sendiri tidak begitu kuat.
e.    Tajfel dan Turner (1979) menyatakan banyak perilaku sosial kita yang bisa dijelaskan dari kecenderungan kita untuk mengidentifikasikan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari kelompok itu atau bukan.Tajfel dan Turner mengemukakan tiga proses kognitif dalam menilai orang lain sebagai golongan ‘kita’ atau ‘mereka’.
1)      Pengelompokan sosial, kita mengidentifikasikan diri kita dan orang lain sebagai anggota kelompok sosial. Kita semua cenderung membuat pengelompokan social seperti jender, ras, dan kelas. Beberapa kelompok sosial lebih relevan bagi sebagian orang daripada yang lain, misalnya penggemar sepak bola dan pecinta kucing. Kelompok yang kita anggap paling penting berbeda-beda menurut individu yang bersangkutan, tetapi kita tidak bergabung dengan kelompok karena individunya. Kita menerima kelompok-kelompok yang kita tahu memang penting. Tentu saja kita bisa mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari beberapa kelompok sekaligus.
2)      Identifikasi sosial, kita mengambil identitas kelompok yang kita ikuti. Misalnya, jika anda mengelompokkan diri anda sebagai seorang mahasiswa, kemungkinan anda akan mengambil identitas sebagai seorang mahasiswa dan mulai bersikap dengan cara yang anda percaya sebagai cara bersikap seorang mahasiswa. Identifikasi anda pada suatu kelompok akan memberikan suatu makna emosional, dan harga diri anda akan terkait erat dengan keanggotaan kelompok.
3)      Perbandingan sosial. Sekali kita sudah mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan berpihak pada kelompok itu, maka kita cenderung membandingkan kelompok kita dengan kelompok lain. Bila harga diri kita harus dipertahankan, kelompok kita harus dibandingkan secara menguntungkan dengan kelompok lain. Inilah yang penting dalam memahami prasangka, sebab begitu dua kelompok mengidentifikasikan diri sebagai musuh, mereka terpaksa bersaing agar harga diri anggota-anggotanya dapat ditegakkan. Maka, persaingan dan permusuhan diantara kelompok bukan hanya masalah berebut sarana seperti pekerjaan, tetapi juga dampak dari identitas yang diperebutkan. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan prasangka.

2.   Peran social learning theory
Pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain / masyarakat untuk belajar, menurut Ausubel terdapat 4 macam tipe belajar:
a.    Reception Learning (menerima):  individu hanya menyerap bahan yang tersedia dan bisa mereproduksi kembali.
b.   Discovery learning (menemukan): individu menemukan sendiri materi yang harus dipelajari. Menyerap, mengorganisir dan mengintegrasikan materi ke dalam struktur kognitif
c.    Rote Learning (menghafal): mengingat-ingat bahan yang dipelajari secara verbatim (rangkaian kata-kata)
d.   Meaningful learning (mengartikan): bahan yang dipelajari secara potensial mempunyai arti; menghubungkan informasi/ konsep baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dan relevan. Permasalahannya, pembelajaran di lingkungan masyarakat seringkali dilakukan dengan pola yang salah.
Jika pada awalnya manusia ibarat selembar kertas putih, maka lukisan yang ditorehkan diatasnya sebagian besar adalah hasil dari adanya proses belajar. Adanya penanaman informasi yang keliru pada proses pembelajaran, mengakibatkan individu mengalami brain wash, sehingga dirinya akan mengikuti segala kemauan si pencuci otak. Jadi, peran social learning disini sangat kuat dalam membentuk seseorang untuk bertindak ekstrim.
Contoh : seseorang bisa saja sangat baik, sangat empati terhadap orang lain, tetapi ketika mereka diberi pelajaran bahwa agama lain, warna kulit lain adalah jelek / buruk, atau suku lain adalah jelek maka hal itu akan menyebabkan munculnya tindakan yang ekstrem sebagai hasil dari pembelajaran tersebut

3.   Bias persepsi
Persepsi adalah representasi fenomenal tentang objek distal, sebagai hasil organisasi objek distal itu sendiri, medium dan stimulus proksimal.George dan Wilcox menyatakan bahwa semua manusia cenderung bias dan melihat sesuatu berdasarkan cara pikir yang mereka yakini sendiri. Manusia cenderung menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan dirinya sendiri dan seringkali menyelewengkan atau memanipulasi sesuatu dalam rangka mempertahankan integritas dan kelanggengan kepentingan mereka sendiri. (yang perlu diingat adalah bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain).
Adanya aktivitas kelompok dan brain wash, akan semakin mendukung munculnya bias persepsi pada kelompok tertentu, sehingga pada akhirnya akan memunculkan pola close mind, dan cenderung mengkambing hitamkan (scape goat) kelompok tertentu ataupun keadaan yang ada. Contoh : kondisi ekonomi yang parah dan kemiskinan sering dituduh sebagai penyebab munculnya kelompok2 ekstrem. Dampaknya adalah, ketika justifikasi sosial terlalu besar, maka akan menimbulkan dehumanisasi dari kelompok yang dikambing-hitamkan tersebut.



KESIMPULAN

1.      Ekstrimisme merupakan gerakan ekstrim yang lebih banyak disebabkan oleh faktor kelompok / lingkungan.
2.      Ekstremis dapat berbentuk state actor maupun non state actor.
3.      Ekstrimis dapat direkrut melalui berbagai macam cara, baik yang bersifat kontak personal maupun paksaan.

Sejatah Pendidikan Islam



PENDIDIKAN MASA DAULAH ABBASIYAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang telah kita ketahui, perkembangan ilmu pengetahuan dizaman kontemporer sekarang ini tidaklah berlangsung secara instan, melainkan terjadi secara bertahap (evolutif). Untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, kita harus melakukan penyelarasan-penyelarasan atau klarifikasi secara bertahap. Dikarenakan dari setiap zaman atau abad itu kita bisa menampilkan ciri keunikan tertentu bahkan penemuan-penemuan yang inovatif dan bervariatif dalam keterkaitan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain di zamannya.
Penulis dengan ini berusaha melukiskan sedikit keterkaitan antara pendidikan yang ada pada zaman Daulah Bani Abbasiyah dan pendidikan yang terbentuk dalam dunia akademika kita sekarang ini dengan merujuk pada kenyataan di masa itu. Yang telah melahirkan para tokoh-tokoh penyumbang banyak hal dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam dunia pendidikan dewasa ini.
Penulis dalam mengkaji makalah ini sangat menekankan kepada semua mahasiswa tanpa terkecuali diri penulis sendiri, bahwasannya sistem pendidikan dimasa lampau penting untuk ditelaah lagi guna mengevaluasi problem-problem yang ada dalam dunia pendidikan sekarang ini. Artinya, meski didalam literatur pendidikan selalu dapat berjalan dengan berlandaskan filosofis, tidak menutup kemungkinan bila landasan-landasan itu selalu valid dan tepat dengan situasi pendidikan zaman dulu (skolasik) dalam tujuan yang hendak dicapai.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana awal berdirinya Daulah Abbasiyah ?
2.      Bagaimana sistem pendidikan masa Daulah Abbasiyah ?
3.      Bagaimana kurikulum masa Daulah Abbasiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Awal Berdirinya Daulah Abbasiyah
Daulah Abbasiyah merupakan salah satu kekuatan penting masa itu, daulah ini dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman nabi Muhammad SAW. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Lahir di Humaimah pada tahun 104 H dan dilantik menjadi seorang Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Daulah Abbasiyah berlangsung dari tahun 750 M - 1258 M.[1]
Sebelum Daulah Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas bin Abdul Mutholib. Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib yang bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim yang mempunyai warga bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu, dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Selama Imam Muhammad bin Ali masih hidup gerakan pelawanan dilakukan dengan sangat rahasia dan hati-hati. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad bin Ali meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim bin Muhammad, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan perlawanan dengan cara terang-terangan.
Puncak dari gerakan perlawanan itu bermuara pada pemberontakan menyeluruh diseluruh negeri yang terjadi di abad ke-tujuh. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir dari Daulah Umayyah. Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas, ditandai dengan jatuhnya negeri Syiria dan terbunuhnya Marwan bin Muhammad pada bulan Zulhijjah 132 H di desa Busir, kota Fusthat, Mesir.[2] Maka berakhirlah riwayat Daulah Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Daulah Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja menandakan pergantian kekuasaan akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur sosial dan ideologi.

B.     Model Pendidikan Masa Daulah Abbasiyah
Daulah Abbasiyah merupakan salah satu Daulah yang benar-benar membawa perubahan yang sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan, pada masa ini kejayaan islam benar-benar menjadi yang terkemuka dan mencapai zaman keemasannya.[3]  Hal ini disebabkan karena umat islam pada masa ini banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan dan memunculkan banyak ilmuan dan cendikiawan.
Khalifah Daulah Abbasiyah yang benar-benar berjasa besar akan kemajuan daulah ini adalah Khalifah Harun Al-Rasyid yang memimpin dari tahun 786 M – 809 M, menjadi pelopor pembangunan negara dengan memanfaatkan kekayaannya untuk membangun keperluan social, rumah sakit, famasi, dan lembaga pendidikan, pada masanya jumlah dokter terdapat paling tidak 800 orang. Kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid yang fenomenal tersebut, dilanjutkan oleh puteranya Al-Ma’mun yang memimpin dari tahun 813 M – 813 M dan dikenal sebagai khalifah yang cinta akan ilmu pengetahuan. Pada masa ini khalifah mengeluarkan kebijakan untuk mulai menerjemahkan buku-buku asing dari Yunani, sekaligus khalifah merekrut penerjemah-penerjemah ahli dari golongan Kristen dan golongan ahli lainnya. Selain itu khalifah juga menggagas pembangunan pusat penerjemahan yang diberi nama Bait Al-Hikmah yang berfungsi juga sebagai perguruan tinggi, yang dilengkapi dengan perpustakaan umum yang diberi nama Darul-Ilmi.[4]
Masa Daulah Abbasiyah, kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan benar-benar berkembang dengan pesatnya, semua ini didukung oleh kebijakan khalifah membangun sarana pendidikan yang begitu komplet dan beragam seperti :
1.    Madrasah. Madrasah yang terkenal pada masa itu adalah Madrasah An-Nidzamiyah, didirikan oleh perdana menteri Nidzamul Muluk. Madrasah ini tersebar luas di kota Baghdad, Balkan, Muro, Tabiristan, Naisabur, dan lain-lain.
2.    Kuttab, merupakan tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.
3.    Majelis Munadharah, merupakan tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, ulama, cendikiawan dan filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.
4.    Darul Hikmah, gedung perpustakaan pusat.[5]
Selain tempat-tempat tersebut, masih ada lagi tempat pendidikan lain yang berkembang masa itu seperti :
1.    Suffah, suatu tempat yang dipakai untuk aktifitas pendidikan yang menyediakan pemondokan bagi pendatang baru yang tergolong miskin, untuk diajari membaca dan menghafal Al-Qur’an secara benar, dasar-dasar menghitung, kedokteran, astronomi, ilmu filsafat, dan hukum islam.
2.    Kuttab, lembaga pendidikan pengetahuan umum dan filsafat.
3.    Halaqah, kegiatan di halaqah ini tidak hanya mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama saja, tapi juga ilmu pengetahuan umum.
4.    Majelis, merupakan sesi dimana aktifitas belajar mengajar berlangsung.
5.    Masjid, selain sebagai tempat ibadah, masjid juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
6.    Toko Buku, selain menjual buku-buku, tempat ini juga menjadi sarana untuk diskusi dan debat, bahkan pertemuan rutin sering dilakukan disini.
7.    Rumah Sakit, selain berfungsi merawat dan mengobati orang sakit, juga mendidik tenaga-tenaga perawat dan tempat praktikum kedokteran.[6]









C.  Kurikulum yang Berkembang
Pada masa Daulah Abbasiyah, Kurikulum yang digalakkan pada masa itu adalah :
1.    Kurikulum pendidikan rendah, anak-anak diberi pengajaran Al-Qur’an, pidato, sejarah, ilmu perang, cara bergaul dengan masyarakat, syair, dan bahasa. Sebenarnya kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat.
2.    Kurikulum pendidikan tinggi, pada tingkat ini mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti mata pelajaran tertentu. Mata pelajaran pada tingkat ini meliputi, ilmu fiqh, nahwu, kalam, kitabah, al-arudlh, matematika, astronomi, aritmatika, geometri, psikologi, kesusteraan, kedokteran, dan lain-lain.[7]













BAB III
PENUTUP

Kejayaan islam mengalami puncak keemasannya adalah pada masa Daulah Abbasiyah, ditandai dengan berbagai kemajuan yang mencakup berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan system pemerintahannya.
Dalam bidang pendidikan, banyak bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang memunculkan disiplin-disiplin  ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, serta tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan filsafat yang termasyhur karena karya-karyanya seperti, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ar-Razi, dan masih banyak yang lainnya.
Semua itu terwujud karena kebijakan yang diambil dan digalakkan oleh khalifah yang berkuasa saat itu, benar-benar sesuai dengan kebutuhan dari warga masyarakatnya pada khususnya, dan kebutuhan masyarakat global pada umumnya.















Daftar Pustaka

Yatim, Badri, 2002. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,.
As’ad, Mahrus, 1994. Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: CV Amirco.
Abdurrahman, Dudung, dkk, 2002. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga dan LESFI.
Nata, Abuddin, 2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafika Persada.
Tafsir, Ahmad, 2000. Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya


[1]Dudung Abdurrahman, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2002, hlm. 117
[2] .  ibid., hlm 119
[3]Badri YatimSejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 49

[4].http://www.scribd.com/doc/17392541/pendidikan-Islam-Pada-Masa-Bani-Abbasiyah. Diunduh tanggal 15 Maret 20012

[5]Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: CV Amirco, 1994, hlm. 25-26
[6]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,  Jakarta: PT. Raja Grafika Persada, 2004,  hlm. 32-42
[7]Ahmad Tafsir,  Ilmu Pendidikan dalam Persepektif islam, Bandung: Remaja Rosdakarya 2000, hlm. 60

Pengaruh Penerapan Teknologi Pendidikan terhadap Proses Pendidikan


Pengaruh Penerapan Teknologi Pendidikan terhadap Proses Pendidikan

A.    Pengertian Teknologi Pendidikan
Teknologi Pendidikan merupakan pengembangan, penerapan dan penilaian sistem-sistem, teknik dan alat bantu untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar siswa. Ada pula yang mendefinisikan sebagai pemikiran yang yang sistematis dan kritis tentang pendidikan.
B.     Kontribusi Teknologi Pendidikan dalam Proses Pendidikan
            Kontribusi teknologi pendidikan dalam pembangunan pendidikan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaiitu konseptenaga profesi dan kegiatan.
1.      Kontribusi berupa konsep. Pengertian “pembelajaran” dalam UU Sisdiknas adalah “proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam lingkungan belajar”. Sedangkan dalam konsep teknologi pendidikan, didefinisikansebagai “proses sistematik dan sistemik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang agar orang lain dapat secara aktif belajar sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan.”
Visi teknologi pendidikan yang dirumuskan pada tahun 1987 telah terfokus kepada kepentingan peserta didik dengan rumusan “terciptanya kondisi yang memungkinkan setiap orang berkembang potensinya secara optimal, dengan dikembangkan dan dimanfaatkannya berbagai strategi dan sumber belajar”.
Penetapan standar proses sebagai salah satu standar nasional pendidikan, dapat dikatakan merupakan implementasi dari konsep teknologi pendidikan sebagai proses untuk memperoleh nilai tambah. Langkah-langkah dalam standar proses yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengawasan  juga identik dengan proses pembelajaran dalam konsep teknologi pendidikan. Demikian pula istilah dan konsep tentang sumber belajar, pendidikan terbuka dan multi makna, manajemen berbasis sekolah (yang merupakan pendekatan bottom-up), dan pendidikan jarak jauh, juga merupakan kontribusi dari konsep teknologi pendidikan.
2.      Kontribusi berupa tenaga profesi, baik akademisi maupun praktisi, dalam pembangunan pendidikan tidak diragukan lagi. Mereka berkarya dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan belajar dan biasanya bekerja dalam satuan regu dengan aneka tugas, seperti perancang pembelajaran, artis grafis, ahli media, ahli evaluasi, pemrogram komputer, dan lain sebagainya. Para guru pun sebagian telah menjadi praktisi teknologi pendidikan, yaitu dengan menerapkan kawasan pemanfaatan dalam konsep teknologi pendidikan.
3.      Kontribusi yang berupa kegiatan, terwujud dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai pola pendidikan dan pembelajaran. Saat ini banyak tenaga yang terdidik dalam bidang teknologi pendidikan dan banyak pula kegiatan penerapan teknologi pendidikan yang terintegrasi(imbedded) dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran. Seperti sistem belajar di rumah (home-schooling),  SLTP/MTs Terbuka, SMU Terbuka, KEJAR Paket A, B, dan C, televisi pendidikan (serial pertama tentang pendidikan karakter, ACI = Aku Cinta Indonesia), TV Edukasi, penataran guru melalui siaran radio pendidikan, penggunaan berbagai strategi dan sumber belajar di sekolah maupun lembaga pelatihan, Universitas Terbuka, dll. Keseluruhan kegiatan ini sudah merupakan bagian integral dalam sistem pendidikan.

C.    Pengaruh Positif dan Negatif Teknologi Pendidikan terhadap Proses Pendidikan

1.      Pengaruh positif :
a.       menambah keanekaragaman pilihan sumber maupun kesempatan belajar.
b.      menambah daya tarik, minat, dan motivasi untuk belajar.
c.       menunjang kegiatan belajar masyarakat serta mengundang partisipasi masyarakat.
d.      menyebarkan informasi secara meluas, seragam, cepat, dan up to date.
e.       pengajaran dan proses belajar mengajar lebih efektif.
f.       mempunyai keuntungan rasio efektivitas biaya, bila dibandingkan dengan sistem tradisional.
g.      memasyarakatnya pendidikan terbuka/jarak jauh.

2.      Pengaruh negatif :
a.       kurangnya interaksi antara guru dan siswa.
b.      berubahnya peran guru dari teknik pembelajaran konvensional menjadi ICT.
c.        penyebab utama sikap malas karena kemudahan yang diberikan oleh teknologi.
d.      otomatis berpengaruh dengan jiwa konsumeris kita dan menganggap teknologi adalah kebutuhan primer yang berpengaruh pada lifestily.
e.       bersikap serba instan karena teknologi menyuguhkan hal yang serba instan.
f.       sering disalahgunakan untuk melakukan kegiatan yang di anggap tak pantas di lakukan.

Sekarang hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah E-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.
-          E-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi,
-          Pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar,
-          Memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.

Pemilihan teknologi dalam pendidikan akan membuka kemungkinan untuk lahirnya berbagai alternatif bentuk kelembagaan baru yang menyediakan fasilitas belajar, disamping dapat melayani segala bentuk lembaga pendidikan yang telah ada. Misalnya kemungkinan bagi suatu bentuk sekolah terbuka yang fasilitas dan tata belajarnya berbeda sekali dengan sekolah konvensional, tetapi dengan hasil (output) yang sama.
Serangkaian kriteria pemanfaatan teknologi dalam pendidikan, antara lain: harus dijaga kesesuaiannya (kompatibilitas) dengan sarana dan teknologi yang sudah ada, dapat menstimulasikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta mampu memacu usaha peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian, adanya penerapan suatu teknologi dalam pendidikan akan sangat mungkin terjadi perubahan besar-besaran dalam interaksi belajar mengajar antara sumber-sumber belajar dengan pelaku belajar. Salah satu kemungkinan perubahan tersebut adalah dengan penerapan dan perubahan teknologi informasi dalam pendidikan.

oleh ; DR. Sukiman. S.Ag. M.Pd