.quickedit{display:none;}

Selasa, 27 Oktober 2015

Menumbuhkan Rasa Agama Kepada Anak


Perkembangan rasa agama adalah rangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan bukan hanya sekedar perubahan beberapa sentimeter pada tinggi badan atau peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dn fungsi yang komplek. Perubahan setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu perkembangan usia dan faktor eksternal berupa pengaruh dari luar yang di alaminya serta adanya suatu  proses.sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi itu merupakan dorongan untuk mengabdi kepada sang Pencipta. Dorongan itu berupa benih-benih keberagamaan yang di anugerahkan Tuhan kepada manusia. Dorongan ini merupakan cikal bakal tumbuhnya kepercayaan atau agama pada manusia. Dorongan untuk mengabdi yang ada pada diri manusia merupakan sumber keberagamaan yang fitri.

Untuk memelihara dan menjaga kemurnian potensi fitrah, Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Tugas mereka adalah mengarahkan pengembangan potensi bawaan itu ke jalan sebenarnya dengan cara memberi pengajaran dan contoh teladan yang dalam estafet selanjutnya risalah tersebut diwariskan kepada para ulama’. Akan tetapi tanggungjawab utamanya di titikberatkan pada kedua orang tua. Apakah seseorang setelah dewasa menjadi sosok yang taat bergantung pada pembinaan nilai-nilai agama oleh orang tua.

Pendidikan mempunyai peran yang penting dalam menanamkan rasa agama ada anak. Melalui pendidikan pula pembentukan sikap keagamaan di lakukan. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama  dan utama yang sulit di abaikan dalam pendidikan yang mana pendidiknya adalah orang tua itu sendiri. Bapak dan ibu adalah pendidik kodrati. karena mereka diberikan anugerah Tuhan berupa naluri orang tua. Karena naluri itu, muncul rasa kasih sayang pada anak-anaknya hingga keduanya merasa mempunyai tanggung-jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi dan membimbing anak-anaknya.


Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Fungsi dan peran orang tua mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Sejak masa bayi hingga usia sekolah anak memiliki lingkungan tunggal dalam keluarga. Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tak berdaya tetapi dibekali berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Perkembangan bayi tidak menjadikan dapat berlangsung secara normal tanpa adanya bantuan dari luar. Tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur bayi akan kehilangan kemampuan untuk berkembang secara normal walau memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang.

Orang tua bertanggungjawab  memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Sebagaimana Al Ghazali menyatakan (seperti John Lock) dengan teori tabularasanya, bahwa manusia lahir seperti kertas putih dan lingkungan yang mengisi kertas putih itu. Ia mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan faktor lingkungan terutama pendidikan keluarga. Pengalaman dari lingkungan menentukan pribadi seseorang. Disinilah pentingnya pendidikan terutama pendidikan keluarga (orang tua). Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yaaang akan menjadi dasssa-dasar nilai dari religiusitas anak.

Melalui hubungan dari orang tua anak menyerap konsep-konsep religiusitas, baik yang berkaitan dengan konsep-konsep keimanan, ibadah, maupun muamalah (etik dan moral).ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiusitas anak melalui proses hubungan orang tua dn anak. Yaitu cara orang tua dalam berhubungan (berkomunikasi) dengan anaknya, serta kualitas dari religiusitas orang tua.

Cara berhubungan orang tua dengan anaknya menimbulkan suasana emosional tertentu yang akan mempengaruhi situasi emosi dan sikap anak terhadap obyek yang menjadi perantara hubungan tersebut. Oleh karena itu, peralihan konsep-konsep keagamaan yang terjadi pada suasana hubungan yang positif akan menimbulkan rasa senang dan sikap positif anak terhadap nilai dan perilaku keagamaan. Hal ini akan mendorong timbulnya minat anak dalam mempelajari nilai-nilai keagamaan baik pada usia tersebut maupun usia selanjutnya. Cara berhubungan orang tua dengan anak memang mempunyai peran penting dalam perkembangan religiusitas anak bahkan lebih penting dari materi yang di tanamkan.

Religiusitas anak adalah hasil dari proses penyerapan anak terhadap perilaku relligiusitas orang tua. Semakin tinggi tingkat religiusitas orang tua akan semakin tinggi ekspresi perilaku tingkat keagamaannya sehingga mudah teramati dan terserap oleh anak. Pendidikan yang utama bagi anak adalah pendidikan tauhid. Menurut Al Ghazali, cara untuk menanamkan keimanan pada anak ialah dengan metode pengajaran secara sabar dan kasih sayang sehingga mencapai iman yang kuat.

Senin, 26 Oktober 2015

TEORI HUMAN KAPITAL DALAM PENDIDIKAN



Pendidikan sebagai sebuah proses yang di lakukan oleh masyarakat dalam rangka menyiapkan generasi penerusnya agar dapat bersosialisasi serta beradaptasi dalam budaya dan lingkungan sekitar. Pendidikan di yakini sebagai suatu wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan. Pendidikan juga merupakan alat pembentukan kesadaran bangsa guna peningkatan taraf ekonomi sehingga dapat menurunkan angka kemiskinan dan mengangkat status social.
Namun usaha manusia untuk mempertahankan pendidikan mendapat tantangan. karena pendidikan dapat digunakan untuk mengakumulasi capital dan mendapatkan keuntungan serta pendidikan sebagai komoditi. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat pendidikan yang memupuk kelas social dan ketidakadilan social. 

Dalam teori human capital, individu yang menjalani pendidikan akan memberikan tingkat pengembalian sosial. Berdasarkan kerangka pemikiran ini, maka seharusnya individu yang berada pada jajaran pengambil keputusan (di berbagai level) dan termasuk dalam memberikan layanan publik mampu membuktikan tingkat pengembalian sosial mereka dalam bentuk munculnya berbagai kebijakan yang mengangkat derajat hidup rakyat dan memberikan layanan yang baik kepada publik. Meskipun telah banyak sumber daya manusia yang menjalani pendidikan hingga tingkat pascasarjana, kontribusi yang tergambarkan secara makro masih dirasa belum signifikan. Dalam paper ini penulis akan memaparkan permasalahan pendidikan dalam kaitanya dengan teori Human Capital serta solusi serta refleksinya.


Pengertian Teori Human Kapital

Human capital merupakan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seseorang yang dapat di gunakan untuk menghasilkan layanan profedional dan ekonomik. Teori human capital membedakan human capital dalam industry-spesific human capital yang merupakan pengetahuan rutinitas yang khas dalam suatu industry yang tidak dapat di transfer ke industry lain. Teori human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi pendidikan memiliki tingkat pengembalian sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.

Teori ini juga mendukung adanya pemikiran bahwa manusia sebagai pelaku utama perubahan ekonomi di suatu negara. Teori human capital memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan di negara-negara yang masih berkembang untuk memfokuskan pembangunan manusia yaitu menitikberatkan pada investasi pendidikan.

Pendidikan adalah faktor yang akan menentukan kualitas human capital. Human capital ini adalah faktor penentu eksis pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan kualitas civil society suatu bangsa. Dengan kata lain, kualitas human capital memiliki fungsi strategis secara ekonomis dan nonekonomis. 

Pusat Pembelajaran & Penerapan Lifeskill Education: Kontak

Pusat Pembelajaran & Penerapan Lifeskill Education: Kontak: KAMI DAPAT DI HUBUNGI MELALUI SARANA BERIKUT INI : +6285727192713 gie d` axelle gielarnumb19@gmail.com ...

Kamis, 06 Agustus 2015

Pendidikan Indonesia, Nasibmu Kini


Memasuki abad ke-21 gelombang globalisasi dirasakan semakin terbuka dan kuat pengaruhnya bagi kehidupan rakyat. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru. Dunia begitu terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan suatu negara dengan negara lain. Begitu pula yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Kita tak bisa memungkiri jika kualitas pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan.hal ini dibuktikan dengan data UNESCO (2011) tentang peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index): Indonesia menempati urutan ke 124 dari 183 negara di dunia.
Penyebab rendahnya kualitas atau mutu pendidikan di Indonesia antara lain:

1. Sarana prasarana pendukung proses pendidikan yang kurang memadai dan tidak merata. Misalnya, bangunan sekolah yang tidak layak pakai menjadi penghambat naiknya kualitas pendidikan. Karena siswa dan guru tidak memiliki miliu yang kondusif selama proses belajar-mengajar di dalam kelas yang hampir roboh.
2. Kualitas dan kompetensi guru yang masih belum meningkat . Hal ini bisa jadi karena guru belum atau kurang mempunyai pengalaman dalam mengajar. Dan juga bisa disebabkan guru kurang wawasan tentang strategi dan metode mengajar yang baik.
3. Minimnya kesejahteraan guru khususnya daerah terpencil yang jauh dari pusat pemerintahan. Kesejahteraan yang baik akan mendukung motivasi guru dalam menjalankan kewajibannya sebagai pendidik tanpa harus memikirkan cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disela kewajibannya.
4. Kurangnya perhatian orangtua terhadap perkembangan anak. Seiring perkembangan zaman yang makin kompetitif, banyak orangtua  siswa yang lebih sering berada di luar rumah demi kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya, dan lebih memilih menyerahkan segala kebutuhan anak kepada pengasuh. Dampaknya anak akan merasa kurang diperhatikan orangtuanya, sehingga dimasa perkembangannya rentan terjerumus ke dalam pergaulan yang negatif. Ini tentu akan sangat mengganggu proses pendidikannya.


Keempat penyebab tersebut apabila belum diatasi maka tidak mustahil kualitas pendidikan di Indonesia akan semakin buruk. Terutama di daerah pedesaan yang masih pelosok wilayahnya jauh dari kota.
Permasalahan mengenai guru dan tenaga kependidikan tak akan terjadi jika pemerintah mau memperhatikan hal-hal berikut:

1. Pengadaan tenaga kependidikan baik pendidikan formal, nonformal dan informal yang ditinjau secara kuantitatif maupun kualitatif harus seimbang. Bukan hanya jumlah guru yang terus ditambah tapi kompetensi guru juga harus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Semakin baik kompetensi yang dimiliki tenaga kependidikan maka semakin baik pula mutu pendidikan.
2. Pengangkatan guru negeri yang merata dan terstruktur akan sangat membantu proses belajar mengajar. Karena guru yang berstatus PNS memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada guru honorer. Sehingga motivasi dan konsentrasi guru dapat tercurah sepenuhnya untuk mendidik. Peserta didik juga akan mendapatkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan.
3. Penyebaran atau penempatan guru harus tepat sasaran. Maksudnya adalah guru yang tersedia harus ditempatkan ke daerah dan sekolah yang benar-benar membutuhkan. Sehingga tidak akan terjadi lagi kasus penumpukan guru pada satu daerah atau sekolah sedangkan di daerah dan sekolah yang lain kekurangan tenaga pendidik. Untuk mendukung hal ini dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah terpencil dari Sabang sampai Merauke agar para guru dapat menjalankan tugas lebih baik lagi. Sejujurnya para pendidik juga pasti akan mempertimbangkan daerah tujuan tugas mereka sebelum menerima tawaran penempatan dari pemerintah. Selain itu dengan pembangunan yang merata akan sangat membantu proses standarisasi pendidikan seluruh Indonesia.
4. Penataran tenaga pendidik secara berkala dan konsisten. Guru yang telah bertugas seharusnya mendapatkan jatah untuk dapat mereview kembali, mengevaluasi dan memperbaharui pengetahuan dan kompetensi mereka agar guru tetap aktual dalam keilmuan dan semakin kompeten dalam menjalankan tugasnya.
5. Status dan kesejahteraan. Sangat penting memperhatikan status dan kesejahteraan tenaga kependidikan di Indonesia, karena hal ini berkaitan erat dengan maraknya kasus KKN dewasa ini. Pada dasarnya ini bukan hal baru lagi dalam sejarah pendidikan Indonesia. Sejak orde lama sampai sekarang latar belakang kesejahteraan yang serba terbatas, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat akan mendorong sebagian oknum tenaga kependidikan untuk melakukan korupsi di instansi tempatnya bertugas. Tentu tidak semuanya rela terlibat dalam praktik korupsi. Selain karena peluang yang terbatas, mungkin juga karena nilai-nilai moral keagamaan yang mereka miliki begitu kuat dan tidak modah goyah dengan godaan duniawi.
6. Jenis kelamin atau lebih dikenal dengan gender seyogyanya sudah tak bisa dipersoalkan lagi dalam dunia pendidikan dewasa ini, karena pada dasarnya semua warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, mengembangkan potensi dan kemampuan, memperoleh peluang dan membagi ilmu yang diperolehnya kepada orang lain. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai sumber daya manusia yang mempunyai potensi yang berguna bagi pembangunan bangsa.


Di balik semua lembar buram yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini, kita patut bersyukur bahwa masih banyak siswa Indonesia yang mampu mengharumkan nama bangsa di kancah dunia dalam bidang keilmuan dan tekhnologi. Sungguh suatu prestasi yang begitu membanggakan dalam bidang eksakta dan olahraga serta masih banyak lagi yang lainnya mampu ditorehkan para siswa Indonesia.

Kita seharusnya dapat mengambil pelajaran dari keberhasilan mereka, karena mereka mampu meraih semua itu tidak dengan cara instan dan spontanitas. Butuh proses yang didasarkan pada semangat yang besar, keinginan yang kuat untuk berprestasi dan usaha yang lebih keras dari siswa yang lainnya juga ditopang oleh kesabaran para tentor mereka dalam membimbing, mengarahkan dan mendidik mereka dengan penuh tauladan yang baik

NARKOBA MENGGURITA, KAUM MUDA TERLUKA



Era globalisasi era dimana segala sesuatu dapat diakses oleh siapa saja tak mengenal usia, tempat, waktu dan status sosial dengan semua kemudahan yang tersedia, kita tidak bisa menghindar atau berpura-pura tidak tahu, karena kita secara sadar maupun tidak telah terlibat di dalamnya. Sederhana saja, dulu kita sangat sulit untuk mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain, tapi sekarang dengan kemajuan sarana komunikasi kita hanya tinggal duduk di depan televisi, maka apa yang kita ingin ketahui segera tersaji sesuai dengan keinginan kita.

Era yang menjanjikan segala kemudahan ini bukan berarti tak ada sisi buruknya dibalik begitu banyak sisi baik dan manfaatnya. Kita sering melihat atau mendengar berita tentang maraknya peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang, yang lebih memprihatinkan adalah para pengedar dan pemakainya mayoritas merupakan kaum muda yang masih memiliki begitu banyak impian dan cita-cita yang sebenarnya mampu mereka realisasikan dimasa produktif mereka.

Penyalahgunaan narkoba sudah sampai pada titik puncak yang harus segera kita sadari dan kita cari bersama solusi pencegahannya, bukan diam saja hanya karena kita atau keluarga kita tak terlibat di dalamnya. Karena dampak yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba sangatlah mengancam masa depan kaum muda Indonesia. Para bandar dan pengedar narkoba sendiri sudah mulai mengglobal dan tak hanya sekelas daerah dan nasional lagi, tapi telah mendunia yang berbondong-bondong menyerang kaum muda kita dengan segala janji dan kebusukan di balik topeng kenikmatan sesaat.

Modus pengedarannyapun sangat bervariasi tapi tetap satu tujuan, yaitu agar dapat memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Mereka tak peduli lagi akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka. Mereka juga sangat profesional dalam mengedarkannya, semua tertata rapi dan begitu terorganisir. Banyak yang telah menjadi korban, bukan hanya masyarakat biasa tapi juga para oknum pejabat, publik figur, oknum polisi dan yang lebih memprihatinkan adalah anak-anak yang masih berstatus pelajar. Relakah kita mempertaruhkan masa depan anak-anak demi keuntungan mereka ?

Kaum muda selalu menjadi opsi utama para pengedar untuk dijadikan mangsa empuk, karena kaum muda khususnya usia remaja masih dalam masa transisi, masa pencarian jati diri dan masa pembuktian eksistensi mereka. Remaja sangat tertarik untuk mengetahui hal-hal baru yang belum mereka temui sebelumnya. Oleh karena itu remaja sangat berpotensi menjadi korban narkoba apalagi bila didukung oleh pergaulan yang salah  dalam artian pergaulan yang menjerumuskan mereka pada hal-hal negatif dan kurangnya perhatian dari keluarga.

Jika hal ini terus dibiarkan maka yang terjadi adalah Indonesia akan segera kehilangan para calon penerus perjuangan bangsa dan yang tersisa adalah para kaum tua yang akan segera tutup usia dan kaum muda yang tak bertenaga lagi karena telah digerogoti semua impian dan cita-cita mereka dengan narkoba. Maka akan kemana tujuan dan cita-cita kemerdekaan negara ini dibawa selain menuju kehancuran jika para kaum mudanya terlena oleh buaian narkoba.

Pemerintah memang tak hanya diam saja melihat ini, karena memang dampak yang ditimbulkan sangat mengancam dan membahayakan masa depan bangsa ini. Pemerintah juga telah berjuang untuk mencegah dan memerangi masuk dan beredarnya narkoba di Indonesia dengan membentuk sebuah lembaga yang disebut BNN (Badan Narkotika Nasional). BNN bekerjasama dengan kepolisian telah bekerja mati-matian memberangus para bandar dan pengedar narkoba.

Kebanyakan orang yang terjerat narkoba adalah mereka yang mempunyai banyak waktu luang tanpa kegiatan, kurang perhatian dari keluarga, frustrasi akan kondisi yang tidak mereka harapkan, akibat salah pergaulan, kurang percaya diri, tidak mendapatkan tempat untuk mencurahkan bakat dan minat mereka, tidak mengetahui apa itu narkoba dan bahayanya juga karena kepepet tidak punya penghasilan tetap. Sungguh sangat sulit untuk lepas dari jeratan narkoba jika telah terlibat di dalamnya.

Maka sudah sepantasnya kita sebagai warga negara Indonesia mendukung dengan usaha preventif kepada keluarga kita khususnya anak-anak. Kita harus terus memberikan perhatian dan pemahaman kepada mereka tentang bahaya narkoba. Kita juga harus memperhatikan masa perkembangan anak-anak, pergaulan juga  tingkah-laku mereka. Jangan sampai kesibukan membuat kita lalai memberikan perhatian kepada anak-anak kita. Kita harus mendorong dan memotivasi anak-anak serta menyediakan sarana yang tepat untuk mengembangkan bakat, minat dan tenaga mereka kepada hal-hal positif yang mendukung pendidikan dan pengetahuan yang telah mereka dapatkan.

Selain itu tingkat religiusitas anak-anak juga sangat membantu dan menjaga mereka untuk selalu hati-hati mengambil keputusan, oleh karena itu peran orangtua dalam membimbing anak-anak untuk beragama sangat besar, karena anak-anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti semua apa yang dikerjakan orangtuanya. Jadi sudah seharusnya orangtua mengenalkan nilai-nilai agama kepada anak-anak sejak dini agar dapat menjadi filter semua pengalaman yang didapatkan anak-anak dari lingkungannya.



PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL

Paradigma adalah cara seseorang memandang kenyataan dalam kehidupan. Istilah paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn (1970) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions ketika menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan. Kuhn menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelah memasuki masa pembentukan, ilmu pengetahuan memperoleh pengakuan, dan kemudian berkembang menjadi sebuah paradigma. Pada tahap ini sebuah teori ilmu pengetahuan diakui sebagai suatu kebenaran dan dijadikan sebagai suatu acuan masyarakat dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat inilah sebuaah teori ditempatkan sebagai sebuah paradigma, yakni sebuah pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Paradigma lama adalah guru memberikan pengetahuan kepada siswa  yang pasif. Dalam konteks pendidikan  tinggi, paradigma lama ini juga berarti jika seseorang mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang dia pasti dapat mengajar. Dia tidak perlu tahu proses belajar mengajar yang tepat. Dia hanya perlu menuangkan apa yang diketahuinya ke dalam botol kosong yang siap menerimanya. Banyak guru menganggap bahwa paradigma lama ini sebagai satu-satunya alternatif. Mereka mengajar dengan metode  ceramah dan mengharapkan siswa 3 DCH (Datang Duduk Dengar Catat dan Hafal) serta mengadu siswa satu dengan yang lain.
Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah setelah lengsernya pemerintahan Suharto sekaligus berakhirnya masa orde baru melahirkan era reformasi. Banyak perubahan yang terjadi dinegeri ini mulai dari reformasi birokrasi, demokrasi, ketatanegaran sampai ketingkat pendidikan nasional. Banyak perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita, hal ini bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang mampu bersaing secara global.
Menurut H.A.R Tilaar, dalam paradigma lama pendidikan nasional terdapat beberapa hal pokok yang harus diperhatikan diantaranya:
1.      POPULARISASI PENDIDIKAN
a.         Peningkatan pendidikan merupakan pemutusan mata rantai kemiskinan (teori lingkaran setan).
b.         Mempecepat terpenuhinya pendidikan sekolah dasar untuk semua anak usia sekolah dasar.
c.         Merintis pelaksanaan wajib belajar Sembilan tahun untuk meningkatkan kecerdasan rakyat.
Kenyataan yang terjadi di lapangan:
a)      Peningkatan kuantitatif pendidikan tidak sejalan dengan peningkatan tingkat produktivitas. Tingkat keterampilan output pendidikan Indonesia termasuk terendah di Asia.
b)      Tingkat pengangguran sarjana makin meningkat karena minimnya lapangan kerja dan kompetensi output pendidikan
c)      Popularisasi pendidikan tidak sejalan dengan investasi untuk sektor pendidikan dan anggaran belanja pemerintah.
d)     Popularisasi tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan, karena yang diperhatikan adalah kuantitas pendidikan.

2.      SISTEMATISASI PENDIDIKAN
a.         Dengan adanya sistem yang baku dapat dihasilkan hal – hal berikut :
1)        Perencanaan dan manajemen yang efisien.
2)        Memudahkan supervisi.
3)        Peningkatan mutu pendidikan.
b.         Penyeragaman pendidikan akan menghasilkan terwujudnya kesatuan bangsa.
c.         Estatisme dalam pendidikan akan menjaga mutu pendidkan nasional.
Kenyataan yang terjadi di lapangan:
a)    Sentralisasi pengelolaan, kurikulum, pengadaan dan penyebaran tenaga pengajar.
b)   Pembakuan berbagai jenis kurikulum dari TK sampai PT.
c)    Dengan berdalih meningkatkan mutu diadakan sistem evaluasi terpusat seperti UN, UNMPTN.
d)   Lembaga–lembaga birokratik didirikan untuk memupuk sistem kekuasaan yang mematikan inovasi pendidikan seperti KOPERTIS, BAN.
e)    Lembaga-lembaga pendidikan dari dan oleh masyarakat (swasta) dipersempit ruang geraknya.

3.      PROLIFERASI PENDIDIKAN
a.         Praksisi pendidikan terjadi di sekolah maupun diluar sekolah.
b.         Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama orang tua, masyarakat dan Negara.
c.         Pertumbuhan ekonomi harus diikuti dengan persiapan-persiapan tenaga terampil oleh sistem pendidikan nasional.
Kenyataanya :
a)      Pendekatan formal tentang pendidikan telah mengakibatkan pengaruh-pengaruh informasi dalam pembentukan watak peserta didik semakin signifikan.
b)      Pendidikan telah dipersempit menjadi schooling.
c)      Pendidikan dianggap sebagai state business yang non profit, sedangkan Negara sendiri kekurangan biaya.
d)     SISDIKNAS berorientasi pada supply, bukan pada demand (kebutuhan) masyarakat.

4.      POLITISASI PENDIDIKAN
a.         Pendidikan adalah alat mempertahankan ideologi negara.
b.         Pendidikan nasional yang baik dengan sendirinya dapat memecahkan masalah-masalah sosial budaya.
c.         Manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas pendidikan.
Kenyataannya :
a)      Sakralisasi ideologi nasional bertentngan dengan pengembangan berpikir kritis yang menjadi tujuan pendidikan.
b)      Pendidikan dibebani tujuan suci tetapi tidak didukung dana yang memadai dan profesi guru yang terpuruk.
Dalam perkembangannya yang sejalan dengan perubahan zaman dan semakin beragamnya kebutuhan masyarakat, apa yang diyakini sebagai kebenaran itu kemudian mengalami kegoncangan hingga kemudian mengalami kekacauan (anomali) karena asumsi-asumsi paradigma lama yang tidak lagi mampu menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya timbullah krisis dan terjadi revolusi ilmu pengetahuan. Setelah terjadi revolusi akan ditemukan teori baru, dan dari sinilah akan muncul paradigma baru.
Melihat kenyataan di lapangan yang begitu memprihatinkan, maka sistem pendidikan nasional yang dulu menganut paradigma lama, kini melakukan perubahan paradigma pendidikan menjadi:
1.        Perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama yang berpusat pada guru (teacher-centered) menjadi model pembelajaran yang berfokus pada siswa (student-centered).
2.         Perubahan paradigma pendidikan dari model yang tertutup, terpisah, atau terisolasi dengan lingkungan dan masyarakatnya menjadi model pendidikan yang terbuka, erat, dan akrab dengan habitat dan masyarakat.
3.        Perubahan paradigma pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
4.        Perubahan paradigma pendidikan dari yang cenderung berdimensi kognitif menuju paradigma pendidikan yang berdimensi integral dan holistik.      

Desentralisasi dan sentralisasi pendidikan (otonomi daerah) merupakan salah satu perubahan yang lahir pada era reformasi, hal ini bertujuan untuk membentuk demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan. Selain itu, satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan dan harus terus ditingkatkan demi mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal.
Pemerataan pendidikan secara nasional ada beberapa jalur pendidikan yang bias ditempuh. Setelah reformasi terjadi sedikit perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur (masa orde baru): sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur (era reformasi): formal, nonformal, dan informal. UU NO 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 13 yang berbunyi, “(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal  yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. (2) Pendidikan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diselenggarakan  dengan  sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh”, merupakan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 3 menyebutkan, ”Pendidikan  nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, akan tercapai apabila adanya kerjasama yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan rakyat Indonesia serta didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

Identitas Penulis
Yogie Enjang Gumilar 
eks Mahasiswa Fakultas Pendidikan Agama Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Nomor Telepon/HP : 0857 2719 2713

Selasa, 14 Juli 2015

ekstrimisme


RESUME
PSIKOLOGI POLITIK TENTANG EKSTRIMISME POLITIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Psikologi Belajar PAI



PSIKOLOGI POLITIK TENTANG EKSTRIMISME POLITIK (Lusia Astrika, S.IP, M.Si) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP - UNDIP
A.    Apa itu Ekstrimis ?
Seseorang dikatakan ekstrimis bila :
1.   Sangat antusias dan sangat berlebihan dalam tindakan yang tidak tepat, karena terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi yang berlebihan dalam melihat dunia ini.
2.   Hanya memperhatikan logika berpikir dari perilaku mereka sendiri, pemikiran pihak lain lewat, dan cenderung close mind.
3.   Tidak berempati terhadap pihak lain dan cenderung tidak manusiawi terhadap korban-korban mereka.

B.     Apa Penyebabnya?
Penyebabnya adalah sebagai berikut :
1.   Aktifitas kelompok dan ideology.
a.    Cataldo Neuberger and Valentini (1996), Pearlstein (1991) dan Post (1990) mengatakan bahwa penyebab ekstremis adalah penyimpangan kepribadian / mental disorder.
b.   Tetapi Braungart & Braungart (1992), Crenshaw (2000), Rabbie (1991), Ross (1994), dan Silke (1998) menolak pandangan tersebut, mereka berargumentasi bahwa kepribadian bukanlah penyebab ekstremisme.
c.    Secara politik, perilaku ekstrimis dipandang bukan dari hasilpsycopathologi / mental disorder, melainkan karena adanya ideologi bersama yang kuat dan solidaritas kelompok yang kokoh (aktivitas kelompok).
d.   Baumeister (1997:190) mengatakan bahwa perilaku kekerasan oleh ekstrimis hampir selalu didorong oleh semangat kelompok. Dalam hal ini ada dukungan dan tekanan dari kelompok, sehingga peran individu sendiri tidak begitu kuat.
e.    Tajfel dan Turner (1979) menyatakan banyak perilaku sosial kita yang bisa dijelaskan dari kecenderungan kita untuk mengidentifikasikan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari kelompok itu atau bukan.Tajfel dan Turner mengemukakan tiga proses kognitif dalam menilai orang lain sebagai golongan ‘kita’ atau ‘mereka’.
1)      Pengelompokan sosial, kita mengidentifikasikan diri kita dan orang lain sebagai anggota kelompok sosial. Kita semua cenderung membuat pengelompokan social seperti jender, ras, dan kelas. Beberapa kelompok sosial lebih relevan bagi sebagian orang daripada yang lain, misalnya penggemar sepak bola dan pecinta kucing. Kelompok yang kita anggap paling penting berbeda-beda menurut individu yang bersangkutan, tetapi kita tidak bergabung dengan kelompok karena individunya. Kita menerima kelompok-kelompok yang kita tahu memang penting. Tentu saja kita bisa mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari beberapa kelompok sekaligus.
2)      Identifikasi sosial, kita mengambil identitas kelompok yang kita ikuti. Misalnya, jika anda mengelompokkan diri anda sebagai seorang mahasiswa, kemungkinan anda akan mengambil identitas sebagai seorang mahasiswa dan mulai bersikap dengan cara yang anda percaya sebagai cara bersikap seorang mahasiswa. Identifikasi anda pada suatu kelompok akan memberikan suatu makna emosional, dan harga diri anda akan terkait erat dengan keanggotaan kelompok.
3)      Perbandingan sosial. Sekali kita sudah mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan berpihak pada kelompok itu, maka kita cenderung membandingkan kelompok kita dengan kelompok lain. Bila harga diri kita harus dipertahankan, kelompok kita harus dibandingkan secara menguntungkan dengan kelompok lain. Inilah yang penting dalam memahami prasangka, sebab begitu dua kelompok mengidentifikasikan diri sebagai musuh, mereka terpaksa bersaing agar harga diri anggota-anggotanya dapat ditegakkan. Maka, persaingan dan permusuhan diantara kelompok bukan hanya masalah berebut sarana seperti pekerjaan, tetapi juga dampak dari identitas yang diperebutkan. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan prasangka.

2.   Peran social learning theory
Pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain / masyarakat untuk belajar, menurut Ausubel terdapat 4 macam tipe belajar:
a.    Reception Learning (menerima):  individu hanya menyerap bahan yang tersedia dan bisa mereproduksi kembali.
b.   Discovery learning (menemukan): individu menemukan sendiri materi yang harus dipelajari. Menyerap, mengorganisir dan mengintegrasikan materi ke dalam struktur kognitif
c.    Rote Learning (menghafal): mengingat-ingat bahan yang dipelajari secara verbatim (rangkaian kata-kata)
d.   Meaningful learning (mengartikan): bahan yang dipelajari secara potensial mempunyai arti; menghubungkan informasi/ konsep baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dan relevan. Permasalahannya, pembelajaran di lingkungan masyarakat seringkali dilakukan dengan pola yang salah.
Jika pada awalnya manusia ibarat selembar kertas putih, maka lukisan yang ditorehkan diatasnya sebagian besar adalah hasil dari adanya proses belajar. Adanya penanaman informasi yang keliru pada proses pembelajaran, mengakibatkan individu mengalami brain wash, sehingga dirinya akan mengikuti segala kemauan si pencuci otak. Jadi, peran social learning disini sangat kuat dalam membentuk seseorang untuk bertindak ekstrim.
Contoh : seseorang bisa saja sangat baik, sangat empati terhadap orang lain, tetapi ketika mereka diberi pelajaran bahwa agama lain, warna kulit lain adalah jelek / buruk, atau suku lain adalah jelek maka hal itu akan menyebabkan munculnya tindakan yang ekstrem sebagai hasil dari pembelajaran tersebut

3.   Bias persepsi
Persepsi adalah representasi fenomenal tentang objek distal, sebagai hasil organisasi objek distal itu sendiri, medium dan stimulus proksimal.George dan Wilcox menyatakan bahwa semua manusia cenderung bias dan melihat sesuatu berdasarkan cara pikir yang mereka yakini sendiri. Manusia cenderung menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan dirinya sendiri dan seringkali menyelewengkan atau memanipulasi sesuatu dalam rangka mempertahankan integritas dan kelanggengan kepentingan mereka sendiri. (yang perlu diingat adalah bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain).
Adanya aktivitas kelompok dan brain wash, akan semakin mendukung munculnya bias persepsi pada kelompok tertentu, sehingga pada akhirnya akan memunculkan pola close mind, dan cenderung mengkambing hitamkan (scape goat) kelompok tertentu ataupun keadaan yang ada. Contoh : kondisi ekonomi yang parah dan kemiskinan sering dituduh sebagai penyebab munculnya kelompok2 ekstrem. Dampaknya adalah, ketika justifikasi sosial terlalu besar, maka akan menimbulkan dehumanisasi dari kelompok yang dikambing-hitamkan tersebut.



KESIMPULAN

1.      Ekstrimisme merupakan gerakan ekstrim yang lebih banyak disebabkan oleh faktor kelompok / lingkungan.
2.      Ekstremis dapat berbentuk state actor maupun non state actor.
3.      Ekstrimis dapat direkrut melalui berbagai macam cara, baik yang bersifat kontak personal maupun paksaan.